pengantar untuk triennale III seni grafis..
Mengenai Seni Grafis, (Kembali ke) Sejarah serta Konvensi
Setelah penyelenggaraan Triennale Seni Grafis Indonesia I (2003) dan II (2006), satu hal yang mendesak untuk dimuncukan kembali sebagai wacana adalah bagaimana kita memahami konteks-konteks perkembangan di dalam perjalanan seni grafis Indonesia sepanjang sejarah?
Perkembangan mutakhir seni grafis, terutama sekali apabila ditinjau dari wilayah praktik, membuahkan sebuah pemahaman baru bahwa memang tengah terjadi perubahan di wilayah teknik cetak-mencetak. Hal ini dikaitkan dengan infiltrasi teknologi cetak. Komputer dan pelbagai tipe printer diandaikan telah menggantikan fungsi plat dan kerja manual. Sampai pada titik ini, cakupan teknik serta potensi hasil cetakan seni grafis menjadi demikian luas, kendati keseluruhannya masih bisa ditengarai sebagai karya-karya dua dimensional. Namun, di situ pula kemudian letak permasalahan, yang tak jarang membangkitkan polemik di tengah wacana seni grafis Indonesia.
Misalnya pertama, apakah teknik mutakhir itu masih bisa dikategorikan sebagai ‘seni grafis’ ? Kedua, kalau pun iya, apakah dengan begitu kita perlu memasukkan perangkat teknologi baru itu sebagai salah satu komponen yang sah dari empat konvensi seni grafis yang telah lama diakui umum?
***
Paska Triennale II (yang sekaligus berhasil mengapungkan persoalan itu ke permukaan), kita sesungguhnya belum menukik ke arah perdebatan yang komprehensif, yang kita harapkan bisa memberi pemahaman serta keyakinan bersama.
Pemahaman mengenai sejarah seni grafis tak kalah penting.
Dibandingkan dengan negara-negara Eropa serta sejumlah negara Asia seperti Jepang yang memiliki akar budaya kuat dalam urusan cetak-mencetak serta terus menerus menegaskan independensi sejarah seni grafis mereka dari idiom seni lainnya, nasib seni grafis dalam sejarah seni rupa modern kita masih terselip di dalam seni yang lain. Sejarah seni grafis kita, lebih tepat, disebut sebagai wacana sisipan (attachment discourses) dari sejarah seni lukis modern.
Dari situ kita temukan bahwa seni grafis semata lahir dari kebutuhan-kebutuhan propaganda gerakan politik seusai kemerdekaan Indonesia, khususnya pada dasawarsa 1940an sampai 1950an. Dalam hal ini, kita mengingat eksplorasi Affandi, Abdul Salam, Suromo, Baharuddin Marasutan, dan Mochtar Apin, dalam teknik cukilan kayu. Kendati demikian, pada masa itu, seni grafis belum lagi dipahami sebagai salah satu media seni yang otonom. Artinya, seni grafis masih dipandang sebagai ‘perluasan kerja artistik para pelukis’. Pekerjaan seni grafis ditujukan untuk memenuhi poster-poster perjuangan dan ilustrasi majalah, itupun sebatas cukilan kayu. Sementara teknik cetak lainnya seperti litografi serta intaglio masih dianggap asing dan belum dikenal luas. Hal ini juga dibuktikan dengan kecenderungan pangamat seni untuk melakukan penyebutan langsung pada salah satu teknik seni grafis, misalnya cukilan kayu atau etsa bagi seniman yang berkarya di wilayah itu.
Pada tahun 1950an di Indonesia cukilan kayu umumnya mengiringi teks-teks puisi, cerpen, atau prosa sastrawan. Buku Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (Balai Pustaka Jakarta, 1959) mungkin contoh yang tepat untuk menunjukkan fenomena tersebut. Seperti halnya litografi yang pernah dikerjakan Manet untuk menghias sajak Edgar Allan Poe pada 1875, dalam bukuGema Tanah Air, pegrafis Mochtar Apin menyandingkan karya-karya cukilan kayunya melengkapi puisi atau sajak.
Lebih jauh ke belakang, di rentang tahun 1600-1920, kita telah mengenal seni grafis melalui buku-buku perjalanan bangsa asing di Indonesia. Misalnya, dalam versi buku asli Thomas S.Raffles, History of Java, rangkaian ilustrasi di dalam buku tersebut memanfaatkan teknik litografi. Catatan-catatan berupa gambar yang dikerjakan dengan teknik litografi seperti karya orang Belanda J.H. Hoffmeister, P.W.M. Trap, atau A. Saagmans Mulder, beberapa di antaranya kini tersimpan di Leiden, Belanda. Catatan itu tentunya bukan sekedar catatan harian seorang pembesar atau seniman. Catatan itu justru menunjukkan karakter seni grafis yang memiliki potensi, yang sejak abad-19, telah menjadi ‘media propaganda’ para orientalis di dalam mendistribusikan pengetahuan serta kuasa mereka atas kekayaan alam, khazanah etnik, antropologi manusia, sekaligus memberikan citraan eksotisme Timur ke Eropa. Fenomena ini hampir bersamaan dengan pertumbuhan seni grafis di Eropa. Seni grafis, dalam kasus ini diwakili teknik litografi, berperan tidak saja memberikan informasi tentang studi-studi awal keberadaan entitas Timur, namun memperkokoh kolonialisasi Barat terhadapnya.
Tidak seperti seni lukis, praktik seni grafis jarang memiliki tempat istimewa dalam perbincangan seni rupa modern kita. Jika kita periksa, tak ditemukan jawaban memuaskan dari para sejarawan seni, mengapa seni rupa modern kita seolah tidak melirik seni grafis sebagai praktik seni? Apakah tumpulnya perkembangan seni grafis semata-mata disebabkan kesulitan material? Jika memang demikian, mengingat masa revolusi kemerdekaan, tentu kita bisa segera memakluminya. Namun yang mencolok di situ adalah bagaimana kesadaran untuk menganalisa konteks lahirnya seni rupa modern tidak terjadi dengan baik. Pada tulisan-tulisan yang dikerjakan S. Sudjojono sejak akhir tahun 1940an, kita temukan bahwa problematika seni yang dibincangkan di sana hanyalah (melulu) seputar seni lukis. Kesenian atau seni akhirnya dipahami sebagai praktik melukis. Adapun jenis kesenian lain seperti seni grafis, keramik, craft, dsb. dipandang belum maju secara berarti dan di sisi lain belum cukup layak dibincangkan.
Kesadaran untuk tidak mengutamakan seni lukis ini - setidaknya dari dokumentasi yang saya temukan - baru muncul pada dasawarsa 1950an. Dalam artikel Kedudukan Seni Rupa Kita, suatu artikel yang dimuat dalam bundel Almanak Seni 1957 terbitan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, kritikus seni Trisno Sumardjo menulis agar kretivitas serta perjuangan seni rupa tidak hanya terbatas pada kain kanvas. Kita, demikian harapan Trisno Sumardjo di sana, sebaiknya sanggup mengisi lapangan-lapangan baru (yang tidak semata lukisan kanvas itu) ke arah pembangunan seni rupa selanjutnya. Dia menyebutkan antara lain bahwa kita harus membangkitkan karya cukilan kayu, etsa, ex-libris, fresco, patung, relief, monumen, keramik, arsitektur, tata kota dsb.
***
Di Barat, sebelum era percetakan, seni grafis tidak masuk pertimbangan sebagai ‘seni’ atau bentuk dari karya seni. Saat itu seni grafis dianggap media komunikasi bagi penyebaran ajaran-ajaran agama, penyebaran informasi bagi gerakan sosial-masyarakat. Baru kemudian pada abad-18 hasil cetakan akibat proses teknik seni grafis mulai dipertimbangkan sebagai karya orisinil. Lalu pada sebelum abad-19 sejumlah seniman memproduksi cetakan yang cukup terbatas dan mereka menandatangani hasil cetakan serta informasi teknik yang penting untuk menjelaskan sifat otentik karyanya. tersebut seperti Edward Hopper dan Ben Shahn yang bereksprimen dengan variasi berbagai teknik.
Seperti halnya di negara-negara lain, di Indonesia, seni grafis mulanya dipandang sebagai salah satu media komunikasi berbentuk ilustrasi. Kemunculannya sering kita jumpai di dalam buku-buku, pamflet, atau poster, sebagai alat penyebaran maklumat yang bersifat persuasif serta propagandis. Sejarah kita mengenal bahwa puncak dari pemanfaatan seni grafis sebagai media propaganda itu dapat dicermati dalam proyek untuk menyambut kemerdekaan Agustus 1946 di mana Baharuddin Marasutan dan Mochar Apin meluncurkan paket hasil cukilan mereka. Oleh pihak Sekretariat Menteri Urusan Pemuda paket itu disebarkan ke sejumlah negara sebagai propaganda kemerdekaan Indonesia.
Baru ketika tahun 1948 setelah Mochtar Apin menerbitkan Pantjangan Pertama Pahatan Lino- sebuah paket cetakan lino yang berisi 12 judul karya – seni grafis mulai diajukan sebagai sebuah pengertian. Artinya, seni grafis mulai disahkan sebagai seni. Walaupun demikian, kerancuan memandang seni grafis tidak bisa dielakkan begitu saja. Sebab, sepanjang dekade itu, seni grafis masih dianggap sebagai salah satu cabang dari seni lukis.
Kesadaran baru timbul, justru ketika seni grafis mulai dipisahkan dari statusnya sebagai seni propaganda. Rivai Apin – saudara kandung Mochtar Apin - mencatat peristiwa itu ke dalam sebuah tulisan pendek: Suatu Cabang Lagi Dipenuhi (1948). Di sana Rivai Apin menyatakan bahwa usaha yang semacam ini bukan propaganda, tapi dia menyorongkan kenyataan. Seni grafis sebagai sebuah pengertian yang juga merefleksikan peneguhan terhadap individu pada detik itu dipisahkan dari pengertian sebelumnya yang cenderung ‘anonim’- sebagai konsekuensinya untuk dijadikan alat propaganda.
Tak banyak orang yang memiliki kesadaran semacam itu, tidak juga sejarah itu sendiri. Tak berlebihan apabila kemudian kita menghargai segelintir nama seperti Suromo yang berperan menyambung pengertian itu ke masa sesudahnya.
Pasang-surut perkembangan seni grafis pada beberapa dekade selanjutnya tak terlepas dari ruang dan kesempatan dan juga pada soal mempertahankan pengertian yang telah disepakati sebelumnya. Sudah banyak usaha yang dilakukan, baik pameran, seminar, dan tentu saja penyelenggaraan seni grafis di pendidikan tinggi seni rupa. Tetap saja, perkembangan seni grafis mengalami pasang-surut. Adakalanya pada dekade tertentu, seni grafis dianggap bukan seni. Hal ini terjadi karena pengertian yang sudah dibangun susah payah tidak disambut secara merata di medan sosial seni.
Di tengah pelbagai kemudahan aplikasi teknologi/media sekarang, Triennal Seni Grafis III kali ini sedikit banyak mengajak kita untuk merenungkan kembali melihat potensi konvensi, kekuataan-kekuataan teknik, gubahan, dan estetiknya. Kita pun berharap akan tercipta sebuah gelombang pemahaman bersama mengenai karakteristik seni grafis, mengenai peluang dan visi pengembangannya ke arah yang lebih baik.Aminudin TH Siregar
Perkembangan mutakhir seni grafis, terutama sekali apabila ditinjau dari wilayah praktik, membuahkan sebuah pemahaman baru bahwa memang tengah terjadi perubahan di wilayah teknik cetak-mencetak. Hal ini dikaitkan dengan infiltrasi teknologi cetak. Komputer dan pelbagai tipe printer diandaikan telah menggantikan fungsi plat dan kerja manual. Sampai pada titik ini, cakupan teknik serta potensi hasil cetakan seni grafis menjadi demikian luas, kendati keseluruhannya masih bisa ditengarai sebagai karya-karya dua dimensional. Namun, di situ pula kemudian letak permasalahan, yang tak jarang membangkitkan polemik di tengah wacana seni grafis Indonesia.
Misalnya pertama, apakah teknik mutakhir itu masih bisa dikategorikan sebagai ‘seni grafis’ ? Kedua, kalau pun iya, apakah dengan begitu kita perlu memasukkan perangkat teknologi baru itu sebagai salah satu komponen yang sah dari empat konvensi seni grafis yang telah lama diakui umum?
***
Paska Triennale II (yang sekaligus berhasil mengapungkan persoalan itu ke permukaan), kita sesungguhnya belum menukik ke arah perdebatan yang komprehensif, yang kita harapkan bisa memberi pemahaman serta keyakinan bersama.
Pemahaman mengenai sejarah seni grafis tak kalah penting.
Dibandingkan dengan negara-negara Eropa serta sejumlah negara Asia seperti Jepang yang memiliki akar budaya kuat dalam urusan cetak-mencetak serta terus menerus menegaskan independensi sejarah seni grafis mereka dari idiom seni lainnya, nasib seni grafis dalam sejarah seni rupa modern kita masih terselip di dalam seni yang lain. Sejarah seni grafis kita, lebih tepat, disebut sebagai wacana sisipan (attachment discourses) dari sejarah seni lukis modern.
Dari situ kita temukan bahwa seni grafis semata lahir dari kebutuhan-kebutuhan propaganda gerakan politik seusai kemerdekaan Indonesia, khususnya pada dasawarsa 1940an sampai 1950an. Dalam hal ini, kita mengingat eksplorasi Affandi, Abdul Salam, Suromo, Baharuddin Marasutan, dan Mochtar Apin, dalam teknik cukilan kayu. Kendati demikian, pada masa itu, seni grafis belum lagi dipahami sebagai salah satu media seni yang otonom. Artinya, seni grafis masih dipandang sebagai ‘perluasan kerja artistik para pelukis’. Pekerjaan seni grafis ditujukan untuk memenuhi poster-poster perjuangan dan ilustrasi majalah, itupun sebatas cukilan kayu. Sementara teknik cetak lainnya seperti litografi serta intaglio masih dianggap asing dan belum dikenal luas. Hal ini juga dibuktikan dengan kecenderungan pangamat seni untuk melakukan penyebutan langsung pada salah satu teknik seni grafis, misalnya cukilan kayu atau etsa bagi seniman yang berkarya di wilayah itu.
Pada tahun 1950an di Indonesia cukilan kayu umumnya mengiringi teks-teks puisi, cerpen, atau prosa sastrawan. Buku Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (Balai Pustaka Jakarta, 1959) mungkin contoh yang tepat untuk menunjukkan fenomena tersebut. Seperti halnya litografi yang pernah dikerjakan Manet untuk menghias sajak Edgar Allan Poe pada 1875, dalam bukuGema Tanah Air, pegrafis Mochtar Apin menyandingkan karya-karya cukilan kayunya melengkapi puisi atau sajak.
Lebih jauh ke belakang, di rentang tahun 1600-1920, kita telah mengenal seni grafis melalui buku-buku perjalanan bangsa asing di Indonesia. Misalnya, dalam versi buku asli Thomas S.Raffles, History of Java, rangkaian ilustrasi di dalam buku tersebut memanfaatkan teknik litografi. Catatan-catatan berupa gambar yang dikerjakan dengan teknik litografi seperti karya orang Belanda J.H. Hoffmeister, P.W.M. Trap, atau A. Saagmans Mulder, beberapa di antaranya kini tersimpan di Leiden, Belanda. Catatan itu tentunya bukan sekedar catatan harian seorang pembesar atau seniman. Catatan itu justru menunjukkan karakter seni grafis yang memiliki potensi, yang sejak abad-19, telah menjadi ‘media propaganda’ para orientalis di dalam mendistribusikan pengetahuan serta kuasa mereka atas kekayaan alam, khazanah etnik, antropologi manusia, sekaligus memberikan citraan eksotisme Timur ke Eropa. Fenomena ini hampir bersamaan dengan pertumbuhan seni grafis di Eropa. Seni grafis, dalam kasus ini diwakili teknik litografi, berperan tidak saja memberikan informasi tentang studi-studi awal keberadaan entitas Timur, namun memperkokoh kolonialisasi Barat terhadapnya.
Tidak seperti seni lukis, praktik seni grafis jarang memiliki tempat istimewa dalam perbincangan seni rupa modern kita. Jika kita periksa, tak ditemukan jawaban memuaskan dari para sejarawan seni, mengapa seni rupa modern kita seolah tidak melirik seni grafis sebagai praktik seni? Apakah tumpulnya perkembangan seni grafis semata-mata disebabkan kesulitan material? Jika memang demikian, mengingat masa revolusi kemerdekaan, tentu kita bisa segera memakluminya. Namun yang mencolok di situ adalah bagaimana kesadaran untuk menganalisa konteks lahirnya seni rupa modern tidak terjadi dengan baik. Pada tulisan-tulisan yang dikerjakan S. Sudjojono sejak akhir tahun 1940an, kita temukan bahwa problematika seni yang dibincangkan di sana hanyalah (melulu) seputar seni lukis. Kesenian atau seni akhirnya dipahami sebagai praktik melukis. Adapun jenis kesenian lain seperti seni grafis, keramik, craft, dsb. dipandang belum maju secara berarti dan di sisi lain belum cukup layak dibincangkan.
Kesadaran untuk tidak mengutamakan seni lukis ini - setidaknya dari dokumentasi yang saya temukan - baru muncul pada dasawarsa 1950an. Dalam artikel Kedudukan Seni Rupa Kita, suatu artikel yang dimuat dalam bundel Almanak Seni 1957 terbitan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, kritikus seni Trisno Sumardjo menulis agar kretivitas serta perjuangan seni rupa tidak hanya terbatas pada kain kanvas. Kita, demikian harapan Trisno Sumardjo di sana, sebaiknya sanggup mengisi lapangan-lapangan baru (yang tidak semata lukisan kanvas itu) ke arah pembangunan seni rupa selanjutnya. Dia menyebutkan antara lain bahwa kita harus membangkitkan karya cukilan kayu, etsa, ex-libris, fresco, patung, relief, monumen, keramik, arsitektur, tata kota dsb.
***
Di Barat, sebelum era percetakan, seni grafis tidak masuk pertimbangan sebagai ‘seni’ atau bentuk dari karya seni. Saat itu seni grafis dianggap media komunikasi bagi penyebaran ajaran-ajaran agama, penyebaran informasi bagi gerakan sosial-masyarakat. Baru kemudian pada abad-18 hasil cetakan akibat proses teknik seni grafis mulai dipertimbangkan sebagai karya orisinil. Lalu pada sebelum abad-19 sejumlah seniman memproduksi cetakan yang cukup terbatas dan mereka menandatangani hasil cetakan serta informasi teknik yang penting untuk menjelaskan sifat otentik karyanya. tersebut seperti Edward Hopper dan Ben Shahn yang bereksprimen dengan variasi berbagai teknik.
Seperti halnya di negara-negara lain, di Indonesia, seni grafis mulanya dipandang sebagai salah satu media komunikasi berbentuk ilustrasi. Kemunculannya sering kita jumpai di dalam buku-buku, pamflet, atau poster, sebagai alat penyebaran maklumat yang bersifat persuasif serta propagandis. Sejarah kita mengenal bahwa puncak dari pemanfaatan seni grafis sebagai media propaganda itu dapat dicermati dalam proyek untuk menyambut kemerdekaan Agustus 1946 di mana Baharuddin Marasutan dan Mochar Apin meluncurkan paket hasil cukilan mereka. Oleh pihak Sekretariat Menteri Urusan Pemuda paket itu disebarkan ke sejumlah negara sebagai propaganda kemerdekaan Indonesia.
Baru ketika tahun 1948 setelah Mochtar Apin menerbitkan Pantjangan Pertama Pahatan Lino- sebuah paket cetakan lino yang berisi 12 judul karya – seni grafis mulai diajukan sebagai sebuah pengertian. Artinya, seni grafis mulai disahkan sebagai seni. Walaupun demikian, kerancuan memandang seni grafis tidak bisa dielakkan begitu saja. Sebab, sepanjang dekade itu, seni grafis masih dianggap sebagai salah satu cabang dari seni lukis.
Kesadaran baru timbul, justru ketika seni grafis mulai dipisahkan dari statusnya sebagai seni propaganda. Rivai Apin – saudara kandung Mochtar Apin - mencatat peristiwa itu ke dalam sebuah tulisan pendek: Suatu Cabang Lagi Dipenuhi (1948). Di sana Rivai Apin menyatakan bahwa usaha yang semacam ini bukan propaganda, tapi dia menyorongkan kenyataan. Seni grafis sebagai sebuah pengertian yang juga merefleksikan peneguhan terhadap individu pada detik itu dipisahkan dari pengertian sebelumnya yang cenderung ‘anonim’- sebagai konsekuensinya untuk dijadikan alat propaganda.
Tak banyak orang yang memiliki kesadaran semacam itu, tidak juga sejarah itu sendiri. Tak berlebihan apabila kemudian kita menghargai segelintir nama seperti Suromo yang berperan menyambung pengertian itu ke masa sesudahnya.
Pasang-surut perkembangan seni grafis pada beberapa dekade selanjutnya tak terlepas dari ruang dan kesempatan dan juga pada soal mempertahankan pengertian yang telah disepakati sebelumnya. Sudah banyak usaha yang dilakukan, baik pameran, seminar, dan tentu saja penyelenggaraan seni grafis di pendidikan tinggi seni rupa. Tetap saja, perkembangan seni grafis mengalami pasang-surut. Adakalanya pada dekade tertentu, seni grafis dianggap bukan seni. Hal ini terjadi karena pengertian yang sudah dibangun susah payah tidak disambut secara merata di medan sosial seni.
Di tengah pelbagai kemudahan aplikasi teknologi/media sekarang, Triennal Seni Grafis III kali ini sedikit banyak mengajak kita untuk merenungkan kembali melihat potensi konvensi, kekuataan-kekuataan teknik, gubahan, dan estetiknya. Kita pun berharap akan tercipta sebuah gelombang pemahaman bersama mengenai karakteristik seni grafis, mengenai peluang dan visi pengembangannya ke arah yang lebih baik.Aminudin TH Siregar
Ketua Dewan Juri, Kurator, Dosen Seni Rupa
baik juga untuk dibaca mahasiswa kode 2 seni murni, orang tua mahasiswa seni rupa atau makhluk-makhluk penasaran lainnya.
Mantaps...
ReplyDelete